BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
dari Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih
memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap
orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan
pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan
akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang
baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai
pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan
cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar,
hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi
perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh
pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya
terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur
kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori
konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi
pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari
orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang
dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan
bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi
pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih
dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.
Adapun
tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.
Adanya motivasi untuk siswa bahwa
belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
3.
Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri.
5.
Lebih menekankan pada proses belajar
bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang
sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori
perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan
intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan
intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual
yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai
konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133).
Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky,
yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu
memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial
(Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper,
1998).
Ada dua konsep penting dalam teori
Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan
scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan
potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih
mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah
bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang
diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk,
dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan,
memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu
belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada
konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan
konstruktivis sosial. Filsafat
konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan
mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan
masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel
dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme
sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa
lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan
strategi-strategi untuk merespon masalah
yang diberikan. Karakteristik pendekatan
konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
2.2 Ciri-Ciri
Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara
kontruktivisme adalah:
1.
Memberi peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2.
Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan
oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.
Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan
murid.
4.
Mengambil kira dapatan kajian bagaimana
murid belajar sesuatu ide.
5.
Menggalakkan & menerima daya usaha
& autonomi murid.
6.
Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru.
7.
Menganggap pembelajaran sebagai suatu
proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.
Menggalakkan proses inkuiri murid melalui
kajian dan eksperimen.
2.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip
Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1.
Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.
Murid aktif megkontruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.
Guru sekedar membantu menyediakan saran
dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.
Menghadapi masalah yang relevan dengan
siswa.
6.
Struktur pembalajaran seputar konsep utama
pentingnya sebuah pertanyaan.
7.
Mmencari dan menilai pendapat siswa.
8.
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi
anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip
yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya
sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri
ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan
strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga
kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka
mencapai tingkat penemuan.
2.4 Hakikat Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan
tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan.
Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif
memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan
kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan
ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn
dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.
Siswa
tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.
Belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
3.
Pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.
Pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.
Kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif.
Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami
bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara
faktor intern pada diri pembelajar
dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah
laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget
dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan
kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988:
133) mengemukakan:
Perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama,
tahap-tahap
tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan,
pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif
ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun
fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam
konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain
Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi
antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar
konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai
berikut:
1.
Tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi.
2.
Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan
3.
Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
2.5 Hakikat Pembelajaran Menurut Teori
Belajar Konstruktivisme
Menurut teori belajar konstruktivisme,
pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran
siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker
(1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara
gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap
tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury
(1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran,
yaitu:
1.
Siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
2.
Pembelajaran
menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
3.
Strategi
siswa lebih bernilai,
dan
4.
Siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori
belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi
lebih kreatif dan imajinatif.
3.
Memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4.
Memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5.
Mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
6.
Menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
2.6 Kelebihan Dan Kelemahan Teori
Konstruktivistik
·
Kelebihan
1. Berfikir :
Dalam
proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah,
menjana idea dan membuat keputusan.
2. Faham
: Oleh ksrana murid terlibat secara langsung
dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya
dalam semua situasi.
3. Ingat
: Oleh karana murid terlibat secara langsung
dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui
pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin
menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4. Kemahiran
sosial : Kemahiran
sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina
pengetahuan baru.
5. Seronok
: Oleh kerana mereka terlibat secara
terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka
akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
·
Kelemahan
Dalam
bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.