Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 13 Februari 2013

PENJABARAN DEMOKRASI MENURUT UUD 1945 DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Penjabaran Demokrasi menurut UUD 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Passca Amandemen 2002

Berdasarkan cirri-ciri sistem demokrasi tersebut maka penjabaran demokrasi dalam ketatanegara Indonesia dapat ditemukan dalam konsep demokrasi sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 sebagai ‘staats fundamentalnorm’. Selanjutnya didalam penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemetintahan Negara angka Romawi III dijelaskan “Kedaulatan Rakyat”. Rumusan kedaulatan di tangan rakyat menunjukkan bahwa kedudukan rakyatlah yang tertinggi dan paling sentral. Rakyat adalah sebagai asal mula kekuasaan negara dan sebagai tujuan kekuasaan negara. Oleh karena itu “rakyat” adalah merupakan paradigma sentral kekuasaan negara. Adapun rincian struktural ketentuanketentuan yang berkaitan dengan demokrasi menurut UUD 1945 adalah sebagai berikut.
1.     Konsep Kekuasaan
Konsep kekuasaan Negara menurut demokrasi sebagai terdapat dalam UUD 1945 sebagai berikut:
A.  Kekuasaan di Tangan Rakyat
a)    Pembukaan UUD Alinea IV
b)   Pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945
c)    Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1)
d)   “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”.
e)    Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (2)
f)    “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam negara Republik Indonesia pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan tertinggi adalah ditangan rakyat dan realisasinya diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara. Sebelum dilakukan amandemen kekuasaan tertinggi dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
B.   Pembagian Kekuasaan
Sebagai dijelaskan bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat, dan dilakukan munurut Undang-Undang Dasar, oleh karena itu pembagian kekuasaan menurut demokrasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
a)    Kekuasaan Ekskutif, didelegasikan kepada Presiden (Pasal 4 ayat 1 UUD 1945).
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.
b)   Kekuasaan Legislatif, didelegasikan kepada Presiden dan DPR dan DPD (Pasal 5 ayat 2, pasal 19 dan pasal 22 C UUD 1945).
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. (pasal 5 ayat(2)).
Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.*** )” (pasal 22 C ayat 4)
c)    Kekuasaan yudikatif, didelegasikan kepada Makhamah Agung (pasal 24 ayat 1 UUD 1945).
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
d)   Kekuasaan Inspektif, atau pengawasan didelegasikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini termuat dalam UUD 1945 pasal 20 ayat 1.
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.*)
Dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak ada kekuasaan Konsultatif, yang dalam UUD lama. Didelegasikan kepada Dewan Pertimbangan Agung (DPA), (pasal 16 UUD 1945) Mekanisme pendelegasian kekuasaan yang demikian ini dalam khasanah ilmu hukum tatanegara dan ilmu politik dikenal dengan istilah ‘Distribution Of Power’ yang merupakan unsur mutlak dari negara demokrasi.

C.   Pembatasan Kekuasaan
Pembatasan kekuasaan menurut konsep UUD 1945, dapat dilihat melalui proses atau mekanisme 5 tahunan kekuasaan dalam UUD 1945 sebagai berikut
a)    Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, kedaulatan politik rakyat dilaksanakan lewat pemilu untuk membentuk MPR dan DPR setiap 5 tahun sekali. Majelis Permusyawaratan Rakyat memiliki kekuasaan melakukan perubahan terhadap UUD, melantik Presiden dan wakil Presiden, serta melakukan impeachment terhadap presiden jika kalau melanggar konstitusi
b)   Pasal 20 A ayat 1
c)    Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.** )
d)   Rakyat kembali mengadakan pemilu setelah membentuk MPR dan DPR

2.     Konsep Pengambilan Keputusan
Pengambilan Keputusan menurut UUD 1945 dirinci sebagai berikut:
a)    Penjelasan UUD 1945 tentang Pokok ke III
b)   Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ditetapkan dengan suara terbanyak, misal pasal 7B ayat 7.
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.***)
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas mengandung pokok pikiran bahwa konsep pengambilan keputusan yang dianut dalam hukum tata negara Indonesia adalah berdasarkan :
a.    Keputusan didasarkan pada suatu musyawarah sebagai asasnya, artinya segala keputusan yang diambil sejauh mungkin diusahakan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat
b.    Namun demikian jika kalau itu tidak tercapai, maka dimungkinkan pengambilan keputusan itu melalui suara terbanyak.

3.     Konsep Pengawasan
Konsep pengawasan menurut UUD 1945 ditentukan sebagai berikut:
a)    Pasal 1 ayat 2, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi namun dilaksanakan dan didistribusikan berdasarkan UUD. Berbeda dengan UUD lama sebelum dilakukan amandemen, MPR yang memiliki kekuasaan tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat. Maka menurut UUD hasil amandemen MPR kekuasannya menjadi terbatas, yaitu meliputi presiden dan wakil presiden dan memberhentikan presiden sesuai dengan masa jabatannya atau jikalau melanggar UUD.
b)   Pasal 2 ayat 1, MPR terdiri atas DPR dan Anggota DPD. Berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut UUD 1945 hasil amandemen MPR hanya dipilih melalui Pemilu.
c)    Penjelasan UUD 1945 tentag DPR
Berdasarkan ketentuan tesebut maka konsep pengawasan menurut demokrasi Indonesia sebagai tercantum UUD 1945 pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a)    Dilakukan oleh seluruh warga negara. Karena kekuasaan didalam system ketatanegaraan Indonesia adalah di tangan rakyat
b)   Secara formal keatanegara pengawasan berada pada DPR.

4.     Konsep Partisipasi
Konsep partisipasi menurut UUD 1945 adalah:
a)    Pasal 27 ayat 1.
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
b)   Pasal 28.
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang
c)    Pasal 30 ayat 1.
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.** )
Read more »»  

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme  didefinisikan sebagai  pembelajaran  yang  bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap individu.

Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1.        Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri    pertanyaannya.
3.        Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.        Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5.        Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988:133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.  Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997).
Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah.  Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial.  Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).  Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan   konstruktivisme sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi  untuk merespon masalah yang diberikan.  Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.

2.2 Ciri-Ciri Pembelajaran Secara Konstuktivisme
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah:
1.        Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenarnya.
2.        Menggalakkan soalan/idea yang dimulakan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3.        Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan murid.
4.        Mengambil kira dapatan kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide.
5.        Menggalakkan & menerima daya usaha & autonomi murid.
6.        Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid & guru.
7.        Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8.        Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.

2.3 Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1.        Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
2.        Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar.
3.        Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4.        Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5.        Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
6.        Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
7.        Mmencari dan menilai pendapat siswa.
8.        Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

2.4 Hakikat Anak Menurut  Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
3.      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif. Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan
3.      Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

2.5 Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu:
1.      Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
2.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
3.      Strategi siswa lebih bernilai, dan
4.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
1.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
5.      Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
6.      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

2.6 Kelebihan Dan Kelemahan Teori Konstruktivistik
·         Kelebihan
1.  Berfikir : Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
2.   Faham : Oleh ksrana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3.   Ingat : Oleh karana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
4.   Kemahiran sosial : Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
5.  Seronok : Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
·         Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik sepertinya kurang begitu mendukung.

BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Teori konstruktivisme pada dasarnya menekankan pembinaan konsep yang asas sebelum konsep itu dibangunkan dan kemudiannya diaplikasikan apabila diperlukan .

DAFTAR RUJUKAN

Budianto. 2010. Teori Belajar dan Implikasi dalam Pembelajaran, (Online), (http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/09/teori-belajar-dan-implikasinya-dalam-pembelajarn), diakses 7 Februari 2012.
Nanang wahid. 2009. Teori Belajar Konstruktisme, (Online), (http://209.85.175.132/search?q=cache:57Ip5H6 1RWsJ:one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/teori-belajar-konstruktivisme +teori+belajar+bermakna&hl=id&ct=clnk&cd=6&gl=id&client=firefox-a), di akses 7 Februari 2012.
Rochmad. 2009. Bermakna, (Online), (http://209.85.175.132/search?q=cache:l5 Mxjna6c1UJ:rochmad-unnes.blogspot.com/2008/02/tinjauan-filsafat-dan-psikologi.html +4.+Pembelajaran+matematika+berdasarkan+filosofi+kons truktivistik&hl=id&ct=clnk &cd=1&gl=id), diakses 7 Februari 2011.
Suratno J. 2010. Konstruktivisme, (Online), (Jokosuratno's Blog Just another WordPress.com weblog), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2010. Teori Konstruktivisme, Analisis, dan Perkembangannya, (Online),  (http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2072099-teori-belajar-analisis-dan-perkembangannya/#ixzz1NoL82pK3), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Konstruktivisme, (Online), (Copyright dias dias@webmail.umm.ac.id), diakses 7  Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Konstruktivisme, (Online), (http://dias.student.umm.ac.id/2010/01/29/isi/), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2011. Pertumbuhan dan Perkembangan, (Online), (http://www.contohmakalah.co.cc/2011/05/pertumbuhan-dan-perkembangan-terhadap.html), diakses 7 Februari 2012.
Tanpa nama. 2012. Konstruktivisme, (Online), (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.), diakses 7 Februari 2012.
Zainul. 2010. Teori Belajar Konstruktivistik, (Online), (ifzanul.blogspot.com/2010/.../teori-belajar-konstruktivistik.html - Cached - Similar), diakses 7 Februari 2012.
Read more »»